Nahdlatul Ulama memiliki landasan berfikir yang berlandaskan pada ajaran Ahlu Sunnah wal Jama’ah atau disebut dengan Fikrah Nahdliyyah. Fikrah Nahdliyyah pertama kali dicetuskan oleh K.H. Achmad Sidiq pada tahun 1969, yang kemudian diakomodasi menjadi landasan berpikir kebangsaan yang berke-Indonesia-an (fikrah wathaniyyah).
Adapun nilai dan pola pikir yang terkandung dalam Fikrah Nahdliyyah adalah:
1. Fikrah tasamuhiyah
Pola pikir toleran, artinya NU dapat hidup berdampingan secara damai dengan pihak lain walaupun aqidah, cara pikir, dan budayanya berbeda.
2. Fikrah tawassuthiyyah
Pola pikir moderat, artinya NU senantiasa bersikap tawazun (seimbang) dan itidal (moderat) dalam menyikapi berbagai persoalan.
3. Fikrah Ishlahiyyah
Pola pikir reformatif, artinya NU senantiasa mengupayakan perbaikan menuju ke arah yang lebih baik.
4. Fikrah Tathowwuriyah
Pola pikir dinamis, artinya NU senantiasa melakukan kontekstualisasi dalam merespon berbagai persoalan.
5. Fikrah Manhajiyah
Pola pikir metodologis, artinya NU senantiasa menggunakan kerangka berpikir yang mengacu kepada manhaj yang telah ditetapkan NU.
Nahdlatul Ulama memiliki mengikuti manhaj serta pemikiran Abu Hasan Al-Asy’ari dan Abu Mansur Al-Maturidi dalam bidang Aqidah.
Nahdlatul Ulama bermazhab secara qauli dan manhaji kepada kepada salah satu Al-Madzahib Al-Arba’ah (Hanafi, Maliki, Syafi’I dan Hanbali). Sumber hukum Islam (Fikih) yang utama adalah:
- Al-Qur’an : Sumber hukum Islam yang pertama dan utama
- Hadits : Hadits atau Sunnah Nabi menjadi sumber hukum Islam yang kedua setelah Al-Qur’an.
- Ijma’ : Sumber hukum Islam yang ketiga setelah Al-Qur’an dan Hadits. Ijma’ adalah kesepakatan para mujtahid untuk menentukan hukum syari’ah pada suatu masa setelah Nabi Muhammad SAW wafat.
- Qiyas : Sumber hukum Islam keempat, sumber hukum Islam ini dilakukan dengan cara menyamakan peristiwa yang belum ada hukumnya dengan peristiwa yang sudah ada hukumnya.