1. K.H. Hasyim Asy’ari
K.H. Hasyim Asy’ari lahir pada 14 Februari 1871 di Desa Gedang, Jombang, Jawa Timur. Ia berasal dari keluarga ulama besar yang memiliki pengaruh dalam dunia pesantren. Dengan latar belakang keluarga pesantren, Hasyim Asy’ari tumbuh di lingkungan religius yang sangat mendukung pembentukan intelektual dan spiritualnya.
K.H. Hasyim Asy’ari tidak hanya berasal dari keluarga pesantren, tetapi juga memiliki akar kebangsawanan. Keturunan yang penuh dengan integritas keilmuan dan semangat kepemimpinan inilah yang membentuk sosoknya sebagai ulama yang dihormati dan disegani.
K.H. Hasyim Asy’ari berpegang teguh pada ajaran Ahlussunnah wal Jama’ah. Dalam pandangannya, ajaran ini adalah warisan dari Rasulullah dan para sahabatnya, yang mencakup keyakinan dan praktik yang selaras dengan empat mazhab besar (Imam Hanafi, Imam Maliki, Imam Syafi’i, dan Imam Hambali). Ahlussunnah wal Jama’ah tidak hanya mencakup aspek teologi tetapi juga melibatkan kehidupan sehari-hari umat Muslim dalam beragama.
Beliau menolak keras setiap bentuk penyimpangan dari ajaran ini, terutama pengaruh ideologi modernis yang berusaha merombak tradisi keislaman yang sudah mapan. Namun, ia juga bukan anti-modernis, melainkan memilih jalan tengah, menjaga keseimbangan antara tradisi dan pembaruan yang sesuai dengan nilai-nilai Islam.
K.H. Hasyim Asy’ari juga memiliki peran besar dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia. Pada tahun 1945, ketika Indonesia menghadapi ancaman Belanda yang ingin kembali menjajah, K.H. Hasyim Asy’ari mengeluarkan fatwa yang dikenal dengan “Resolusi Jihad.” Fatwa ini menegaskan bahwa membela tanah air dari penjajahan adalah kewajiban agama bagi setiap Muslim. Fatwa ini memicu perlawanan rakyat, terutama di Surabaya, dan menjadi dasar bagi pertempuran heroik 10 November 1945 yang kini diperingati sebagai Hari Pahlawan.
Resolusi Jihad adalah salah satu kontribusi K.H. Hasyim Asy’ari yang sangat signifikan dalam mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Melalui fatwa ini, beliau menunjukkan bahwa Islam tidak hanya berperan dalam aspek spiritual, tetapi juga dalam aspek sosial dan politik, termasuk membela kedaulatan bangsa.
K.H. Hasyim Asy’ari adalah salah satu tokoh utama dalam modernisasi pendidikan pesantren di Indonesia. Pada tahun 1899, beliau mendirikan Pesantren Tebuireng di Jombang, yang kelak menjadi salah satu pesantren terbesar dan terpenting di Indonesia. Pesantren ini menjadi pusat pengajaran ilmu agama, terutama hadits, yang menjadi keahlian K.H. Hasyim Asy’ari.
Pesantren Tebuireng juga menjadi pelopor dalam penggabungan antara pendidikan agama dan ilmu umum. K.H. Hasyim Asy’ari memperkenalkan sistem madrasah di pesantrennya, yang mengajarkan pelajaran seperti Matematika, Bahasa Indonesia, Ilmu Bumi, dan Sejarah. Inovasi ini membantu membentuk santri yang tidak hanya ahli dalam ilmu agama, tetapi juga memiliki pengetahuan yang luas dalam ilmu pengetahuan umum.
2. K.H. Abdul Wahab Chasbullah
K.H. Abdul Wahab Chasbullah lahir pada tanggal 31 Maret 1888 di Jombang. Ia adalah putra dari pasangan K.H. Hasbullah Said yang merupakan pengasuh Pondok Pesantren Tambakberas Jombang, dan Nyai Latifah. Ia mengenyam pendidikan di PP Langitan Tubah, PP Mojosari Nganjuk, PP Tawangsari Sepanjang, berguru pada Syekh Kholil al-Bangkalani Madura, dan PP Tebuireng Jombang di bawah kepengurusan K.H. Hasyim Asy’ari. Ia juga menimba ilmu dari Muhammad Mahfudz at-Tarmasi dan Syekh Said al-Yamani.
Lagu “Syubbanul Wathan” atau yang popular disebut lagu “Yaa Lal Wathan” diciptakan oleh K.H. Abdul Wahab Chasbullah saat mendirikan organisasi gerakan bernama Syubanul Wathan tahun 1916 (sepuluh tahun sebelum Jam’iyyah Nahdlatul Ulama berdiri).
K.H. Abdul Wahab Chasbullah merupakan bapak Pendiri NU. Selain itu, juga pernah menjadi Panglima Laskar Mujahidin (Hizbullah) ketika melawan penjajah Jepang. Ia juga tercatat sebagai anggota DPA bersama Ki Hajar Dewantoro. Tahun 1914 mendirikan kursus bernama “Tashwirul Afkar”.
Tahun 1916 mendirikan Organisasi Pemuda Islam bernama Nahdlatul Wathan, kemudian pada 1926 menjadi Ketua Tim Komite Hijaz yang menemui Raja Arab Saudi. Amalan yang selalu KH Wahab baca yaitu Huwal Habib, bagian dari Salawat Burdah. K.H. Abdul Wahab Chasbullah juga seorang pencetus dasar-dasar kepemimpinan dalam organisasi NU dengan adanya dua badan, Syuriyah dan Tanfidziyah sebagai usaha pemersatu kalangan tua dengan muda.
K.H. Abdul Wahab Chasbullah adalah pelopor kebebasan berpikir di kalangan Umat Islam Indonesia, khususnya di lingkungan nahdhiyyin. K.H. Abdul Wahab Hasbullah merupakan seorang ulama besar Indonesia. Ia merupakan seorang ulama yang menekankan pentingnya kebebasan dalam keberagamaan terutama kebebasan berpikir dan berpendapat. Untuk itu kyai Abdul Wahab Chasbullah membentuk kelompok diskusi Tashwirul Afkar (Pergolakan Pemikiran) di Surabaya pada 1914.
Mula-mula kelompok ini mengadakan kegiatan dengan peserta yang terbatas. Tetapi berkat prinsip kebebasan berpikir dan berpendapat yang diterapkan dan topik-topik yang dibicarakan mempunyai jangkauan kemasyarakatan yang luas, dalam waktu singkat kelompok ini menjadi sangat populer dan menarik perhatian di kalangan pemuda. Banyak tokoh Islam dari berbagai kalangan bertemu dalam forum itu untuk memperdebatkan dan memecahkan permasalahan pelik yang dianggap penting.
Tashwirul Afkar tidak hanya menghimpun kaum ulama pesantren. Ia juga menjadi ajang komunikasi dan forum saling tukar informasi antar tokoh nasional sekaligus jembatan bagi komunikasi antara generasi muda dan generasi tua. Karena sifat rekrutmennya yang lebih mementingkan progresivitas berpikir dan bertindak, maka jelas pula kelompok diskusi ini juga menjadi forum pengkaderan bagi kaum muda yang gandrung pada pemikiran keilmuan dan dunia politik.
3. K.H. Bisri Syansuri
K.H. Bisri Syansuri dilahirkan di Kecamatan Tayu, Pati, Jawa Tengah, tanggal 18 September 1886. Ayahnya bernama Syansuri dan ibunya bernama Mariah. Ia adalah anak ketiga dari lima bersaudara. Ia memperoleh pendidikan awal di beberapa pesantren lokal, antara lain pada K.H. Abdul Salam di Kajen, K.H. Fathurrahman bin Ghazali di Sarang Rembang, Syaikhona Muhammad Kholil di Bangkalan, dan K.H. Hasyim Asy’arie di Tebu Ireng, Jombang.Saat belajar tersebut ia juga berkenalan dengan rekan sesama santri, Abdul Wahab Chasbullah, yang kelak juga menjadi tokoh NU.
Ia kemudian mendalami pendidikannya di Mekkah dan belajar ke pada sejumlah ulama terkemuka antara lain Syekh Muhammad Baqir, Syekh Muhammad Sa’id Yamani, Syekh Ibrahim Madani, Syekh Jamal Maliki, Syekh Ahmad Khatib Padang, Syekh Syu’aib Daghistani, dan Kiai Mahfuz Termas.Ketika berada di Mekkah, K.H. Bisri Syansuri menikahi adik perempuan K.H. Abdul Wahab Chasbullah.Di kemudian hari, anak perempuan K.H. Bisri Syansuri menikah dengan K.H. Wahid Hasyim dan menurunkan K.H. Abdurrahman Wahid dan Ir.H. Solahuddin Wahid.
Sepulangnya dari Mekkah, dia menetap di pesantren mertuanya di Tambak Beras, Jombang, selama dua tahun. Ia kemudian berdiri sendiri dan pada 1917 mendirikan Pondok Pesantren Mambaul Ma’arif. K.H. Bisri Syansuri menjadi ulama di Denanyar, Jombang. Saat itu, K.H. Bisri Syansuri adalah kiai pertama yang mendirikan kelas khusus untuk santri-santri wanita di pesantren yang didirikannya.
Di sisi pergerakan, ia bersama-sama para kiai muda saat itu antara lain K.H. Abdul Wahab Chasbullah, KH Mas Mansyur, K.H. Dahlan Kebondalem, dan K.H. Ridwan, membentuk klub kajian yang diberi nama Taswirul Afkar (konseptualisasi pemikiran) dan sekolah agama dengan nama yang sama, yaitu Madrasah Taswirul Afkar. Ia adalah peserta aktif dalam musyawarah hukum agama, yang sering berlangsung di antara lingkungan para kiai pesantren, sehingga pada akhirnya terbentuklah organisasi Nahdlatul Ulama (NU). Keterlibatannya dalam upaya pengembangan organisasi NU antara lain berupa pendirian rumah-rumah yatim piatu dan pelayanan kesehatan yang dirintisnya di berbagai tempat.
Pada masa penjajahan Jepang, K.H. Bisri Syansuri ini terlibat dalam pertahanan negara, yakni menjadi Kepala Staf Markas Oelama Djawa Timur (MODT), yang berkedudukan di Waru, dekat Surabaya. Pada masa kemerdekaan ia pun terlibat dalam lembaga pemerintahan, antara lain dalam Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP), mewakili unsur Masyumi (tempat Nahdlatul Ulama tergabung secara politis).Ia juga menjadi anggota Dewan Konstituante tahun 1956, hingga ke masa pemilihan umum tahun 1971.Setelah wafatnya KH Abdul Wahab Chasbullah, tahun 1972 ia diangkat sebagai Rais Aam (ketua) Syuriah (pimpinan tertinggi) Nahdlatul Ulama.Ketika NU bergabung ke Partai Persatuan Pembangunan, ia pernah menjadi ketua Majelis Syuro partai ini. Ia terpilih menjadi anggota DPR sampai tahun 1980.